🌼⭐ Sejarah Kabupaten Lamongan ⭐🌼
Kabupaten Lamongan berada di sebelah barat dari Kota Surabaya berjarak sekitar 49 km.
Lamongan menjadi salah satu jalur Panturs atau Pantai Utara Jawa yang menghubungkan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jaya dan Banten. Salah satu Jalan Raya terpanjang yang dibuat pada masa Gubernur Jenderal Belanda, Herman Willem Daendels juga melewati Kabupaten Lamongan.
Kota Lamongan yang secara geografis berada dalam koordinat : 7.12° LS 112.42°BT menjadi ibukota dari Kabupaten Lamongan.
Kota Lamongan berjuluk Kota Soto, karena Soto menjadi kuliner khas dari Kabupaten Lamongan, selain tahu campur.
Dua kuliner ini memang berasal dari Lamongan dan sangat dikenal di daerah lain.
Motto dari Kota Lamongan adalah Mêmayu Raharjaning Pråjå.
Hari jadi Lamongan diterapkan pada tanggal
26 Mei 1569 sebagai peringatan Rangga Hadi diwisuda menjadi Tumenggung Lamong, dengan gelar Tumenggung Surajaya.
Kabupaten Lamongan mempunyai luas wilayah
1.812,80 km2 (69,990 sq mi) dan penduduk sebanyak 1.344.165 jiwa pada tahun 2020.
Wilayah Kabupaten Lamongan terbagi menjadi
27 Kecamatan, 12 Kelurahan dan 462 Desa.
Kabupaten Lamongan berbatasan dengan Kabupaten Gresik di sebelah Timur, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro di sebelah Barat dan Kabupaten Jombang di sebelah selatan. Di sebelah utara berbatasan langsung dengan Laut Jawa.
Sejarah Kabupaten Lamongan ini dimulai sejak Kerajaan Medang dan Kahuripan, Kerajaan Jenggala, Kerajaan Panjalu atau Kediri atau Dhaha. Kemudian dilanjutkan dengan Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Majapahit. Sejarahnya juga berhubungan erat dengan Kabupaten Gresik yang pada saat itu menjadi pusat dari penyebaran agama Islam.
Lamongan dimasa lampau merupakan Pintu Gerbang ke Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Panjalu, Kerajaan Jenggala, Kerajaan Singosari atau Kerajaan Mojopahit, berada di Ujung Galuh, Canggu dan kambang Putih ( Tuban). Setelah itu tumbuh pelabuhan Sedayu Lawas dan Gujaratan (Gresik), merupakan daerah amat ramai , sebagai penyambung hubungan dengan Kerajaan luar Jawa bahkan luar Negeri. Zaman Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur,
Ada cerita rakyat tentang kisah Angling Darma Raja dari Malawapati . Mirip dengan kisah dari Kabupaten Bojonegoro ada nama dusun yang dianggap sebagai petilasan Angling Darma. Nama dusun itu adalah dusun Melawan di Desa Kedung Wangi, Kecamatan Sambeng.
Kisah Angling darma dan Patih Batik Madrim memang mirip dengan kisah dari Bojonegoro. Hingga saat ini masih tersimpan dengan baik, Sumping dan Baju Anglingdarma di dusun ini. Di sebelah barat berdiri Kerajaan Rajekwesi yang kemudian menjadi Bojonegoro sekarang.
Pada waktu Kerajaan Majapahit dipimpin Raja Hayam Wuruk (1350 -1389) kawasan di sebelah kanan kiri Bengawan Solo menjadi daerah Pardikan. Daerah ini merupakan daerah penyangga ekonomi Mojopahit dan jalan menuju pelabuhan Kambang Putih, Tuban.
Wilayah ini disebut Daerah Swatantra Pamotan dibawah kendali Bhre Pamotan atau Sri Baduga Bhrameswara paman dari Raja Hayam Wuruk Kini Petilasannya berada di desa Pamotan kecamatan Sambeng.
Di bawah kendali Bhre Wengker ( Ponorogo ). Daerah swatantra Pamotan meliputi 3 kawasan pemerintahan Akuwu , meliputi daerah Biluluk (Bluluk), daerah Tenggulunan (Tenggulun dan Solokuro) dan daerah Pepadhangan (Padangan Bojonegoro).
Menurut buku Negara Kertagama telah berdiri pusat pengkaderan para cantrik yang mondok di Wonosrama Budha Syiwa bertempat di Balwa (desa Blawi Karangbinangun) , di Pacira ( Sendang Duwur Paciran), di Klupang (Lopang Kembangbahu) dan di Luwansa ( desa Lawak Ngimbang).
Desa Babat kecamatan Babat menjadi salah satu tempat penyeberangan diantara 42 tempat lainnya di sepanjang aliran Bengawan Solo. Berita ini terdapat dalam Prasasti Biluluk yang tersimpan di Musium Gajah Jakarta, berupa lempengan tembaga.
Menjelang keruntuhan Mojopahit, Lamongan pada saat itu dibawah kekuasaaan Kadipaten Sengguruh (Singosari) bergantian dengan Kadipaten Kertosono (Nganjuk) dikenal dengan kawasan Gunung Kendeng Wetan diperintah oleh Demung, yang bertempat tinggal disekitar Candi Budha Syiwa di Mantup. Setelah itu diperintah oleh Rakryan Rangga sampai tahun 1542.
Dalam mengembangkan ambisinya, Sultan Demak Bintoro, yaitu Sultan Trenggono mengutus Sunan Gunung Jati ke wilayah barat untuk menaklukkan Banten, Jayakarta dan Cirebon. Sultan Trenggono sendiri menyerbu daerah Lasem, Tuban dan Surabaya sebelum sebelum menyerang Kerajaan Blambangan ( Panarukan).
Pada saat menaklukkan daerah Surabaya dan sekitarnya, pemerintahan Rakryan Rangga Kali Segunting ( Lamong ), ditaklukkan sendiri oleh Sultan Trenggono pada tahun 1541 .
Namun tahun 1542 terjadi pertempuran hebat antara pasukan Rakryan Kali Segunting dibantu oleh Kadipaten Sengguruh (Singosari) dan Kadipaten Kertosono - Nganjuk di bawah pimpinan Ki Ageng Angsa dan Ki Ageng Panuluh, mampu ditaklukkan pasukan dari Kesultanan Demak dipimpin Raden Abu Amin, Panji Laras, Panji Liris. Pertempuran sengit terjadi di daerah Bandung, Kalibumbung, Tambakboyo dan sekitarnya.
Pada tahun 1543 dimulailah Pemerintahan Islam yang direstui Sunan Giri III, oleh Sultan Trenggono ditunjuklah R.Abu Amin untuk memimpin Karanggan Kali Segunting, yang wilayahnya diapit kali Lamong dan kali Solo. Wilayah utara kali Solo menjadi wilayah Tuban, perdikan Drajat, Sidayu, sedang wilayah selatan kali Lamong masih menjadi wilayah Japanan dan Jombang.
Pada tahun 1556 Rangga Abu Amin meninggal dunia dan digantikan oleh Rangga Hadi yang masih paman Sunan Giri III (1556 -1569).
Tepat hari Kamis pahing 10 Dzulhijjah 976H atau bertepatan 26 Mei 1569, Rangga Hadi dilantik menjadi Tumenggung Lamong bergelar Tumenggung Surajaya ( Soerodjojo) hingga tahun 1607 dan dimakamkan di Kelurahan Tumenggungan kecamatan Lamongan dikenal dengan Makam Mbah Lamong.
Semboyan dari Sunan Drajat, Derajate para Sunan dan Kyai “Memayu Raharjaning Praja” yang benar benar dilakukan dengan perubahan mendasar, dalam memsejahterahkan rakyatnya masih memegang budaya kebersamaan saling membantu sesuai pesan kanjeng Sunan Drajat “Menehono mangan marang wong kang luwe, menehono payung marang wong kang kudanan , menehono teken marang wong kang wutho, menehono busono marang wong kang wudho”
Kabupaten Lamongan yang kini dipimpin oleh H. Masfuk sebagai Bupati periode ke 2 dan H.Tsalis Fahmi. Pada masa pemerintahannya dibuka : Wisata Bahari Lamongan (Lamongan Ocean Tourism Ressort), Lamongan Integrated Sharebased, Proyek Pelabuhan Rakyat, dan Proyek Lapangan Terbang dan Eksplorasi minyak Balong Wangi Sarirejo,
#Daftar Bupati Lamongan
1. Rangga Aboe Amin
1543 ~ 1556
2. Rangga Hadi
1556 ~ 1569
3. Tumenggung Surajaya
1569 ~ 1607
* Tumenggung Surajaya adalah gelar dari
Rangga Hadi
4. R. Pandji Adipati Keling
1607 ~ 1640
5. Raden Panji Poespokoesoemo
1640 ~ 1682
6. Raden Panji Soerengrono
~
7. Raden Panji Dewa Kaloran
~
8. Tumenggung Todjojo
1682 ~1690
9. Tumenggung Onggobojo
1690 ~1761
10. Tumenggung Kertoadinegoro
~
11. Tumenggung Wongsoredjo
~
12.Tumenggung Tjitrosono
~
13.Tumenggung Djojodirjo
~
14. Adipati Sosronegoro
1761 ~ 1776
15. Tumenggung Wongsodinegoro
1776 ~ 1824
16. Tumenggung Mangundinegoro
~
17. Adipati Ardjodinegoro
1824 ~ 1856
18. RT Tjokro Poerbonegoro
1856 ~ 1863
19. RT Kromo Djojo Adinegoro
1863 ~ 1866
20. RT Kromo Djojo Adirono
1866 ~ 1885
* Pada masa pemerintahannya, Lamongan
menjadi bagian dari Karesidenan Surabaya
21. R Adipati Djojo Dirono
1885 ~ 1908 masa jabatan pertama
1908 ~ 1937 masa jabatan kedua
22. Raden Tumenggung Moerid Tjokronegoro
1937 ~ 1942
23. Tjokro Soedirjo
1942 ~ 1960
24. R Soekadji
~
25. Abdoel Hamid Soerjosapoetro
~
26. Waskito
~
27. Soepardan
~
28. Ali Afandy
~
29. Raden Ismail
~
30. Soeparngadi
1960 ~ 1969
31. Kolonel Chasinoe
1969 ~ 1979
32. Kolonel CPM (Purn.) Sutrisno Sudirjo
1979 ~ 1984
33. Dr. Moch. Syafii As'ari
1984 ~ 1989
34. KH. Moch. Faried, SH.
1989 ~ 1999
* ) H. Agus Syamsuddin, SH. M.Si.
1999 ~ 2000
Pejabat Bupati
35. H. Masfuk, SH.
2000 ~ 2010
36. H. Fadeli, SH., MM.
2010 ~ 2015
* ) Ir. Wahid Wahyudi, MT.
2015 ~ 2016
Pejabat Bupati
36. H. Fadeli, SH., MM.
2016 ~ 2021
37. Dr. H. Yuhronur Efendi, MBA
2021 ~
#Sejarah Lamongan
Tumenggung Surajaya adalah Bupati pertama dari Kabupaten Lamongan yang berkuasa pada tahun 1569 -1607. Pada tahun 1569 Lamongan berganti status menjadi Katuranggan. Tumenggung Surajaya diangkat sebagai Adipati Lamongan pertama pada masa itu. Tanggal 26 Mei 1569 ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Lamongan. Tumenggung Surajaya disebut juga Mbah Lamong, dari sinilah nama Kota Lamongan berasal.
Asal usul Kota Lamongan sendiri tidak bisa lepas dari kisah seorang pemuda bernama Hadi. Dia adalah santri kesayangan Sunan Giri, yang berasal dari Desa Cancing, Ngimbang, Lamongan.
Karena kecakapan ilmu agama yang dimiliki, Hadi dipercaya untuk menyebarkan ajaran Islam ke barat Kasunanan Giri.
Pada zaman Raja Majapahit Raden Wijaya, Lamongan sudah menjadi daerah strategis. Dalam naskah riwayat hari jadi Lamongan, dijelaskan bahwa sudah terdapat jalan purbakala yang menghubungkan pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan dengan Kambang Putih (pelabuhan Tuban) yang berada di pesisir utara.
Diduga jalan purbakala tersebut mulai dari Desa Pamotan yang berada di selatan, Garung, Kadungwangi, Sumbersari, Pasarlegi, Ngimbang, Bluluk, Modo, Dradah terus ke utara hingga Gunung Pegat dan berakhir di utara tepatnya di Desa Pucakwangi di Babat. Pada zamannya, jalan purbakala ini ramai dilalui para saudagar, punggawa praja, prajurit hingga rakyat jelata.
Terbentuknya Lamongan sebagai kabupaten tidak lepas dari santri kesayangan Sunan Giri II bernama Hadi, pemuda asal Desa Cancing, Ngimbang, Lamongan. Karena kecakapan ilmu agama yang dimiliki, Hadi ini lantas dipercaya untuk menyebarkan ajaran Islam ke barat Kasunanan Giri.
Berbeda dengan delapan wali lainnya, Sunan Giri dan Kasunanan Giri memiliki sistem monarki, sehingga putra dan keturunan Giri bisa menggunakan gelar Sunan Giri.
Dengan perbekalan, pengawalan dan seorang pembantu, Hadi berangkat melaksanakan perintah Sunan Dalem menyebarkan ajaran Islam di wilayah Lamongan. Rombongan penyebar agama Islam ini berangkat menyusuri Kali Lamong dengan naik perahu.
Perahu yang dinaiki Hadi akhirnya membawanya di sebuah tempat bernama Dukuh Srampoh, Pamotan, sebuah tempat yang berlokasi tidak jauh dari jalan purbakala Majapahit. Rombongan syiar Islam ini lantas melanjutkan perjalanan darat hingga sampai di Puncakwangi, yang sekarang masuk dalam desa di wilayah Babat.
Karena lokasi tersebut dianggap sesuai dengan pesan Sunan Giri, akhirnya Hadi mengabarkan bahwa dirinya sudah berada di tempat 'kali gunting' atau kali yang bercabang dua. Bertemunya hulu sungai-sungai kecil dari Desa Bluluk dan Modo yang mengalir ke hilir kali besar yang sekarang bernama Bengawan Solo.
Kedatangan Islam di daerah ini diterima cukup baik oleh masyarakat. Perkampungan Islam yang dibangun Hadi lambat laun berkembang cukup pesat. Namun di kemudian hari baru diketahui bahwa lokasi ini bukannya tempat dakwah yang dimaksud Sunan Giri II.
Seiring berkembangnya waktu, perjalanan
syiar Islam Hadi berlanjut hingga Sunan Giri III. Karena keberhasilan sebelumnya dalam berdakwah, Hadi mendapat pangkat Rangga yang berarti pejabat.
Keberhasilan dan cara dakwah Rangga Hadi dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah Lamongan, membuatnya dicintai masyarakat. Kemudian warga menyematkan julukan Mbah Lamong lantaran sifat mengasuh dan melayani masyarakat yang benar-benar membekas.
Dalam perkembangannya, wilayah Lamongan menjadi incaran penjajah Portugis yang ingin menguasai pantai utara dan menjajah pulau Jawa. Kemudian Sunan Giri memandang wilayah Lamongan sebagai lokasi strategis namun rawan karena dilalui oleh Bengawan Solo yang mampu dilayari kapal pedagang maupun kapal perang penjajah.
Dengan pertimbangan matang, akhirnya Sunan Giri IV (Sunan Prapen) mengumumkan wilayah kerangga Lamongan ditingkatkan menjadi kadipaten pada tanggal 26 Mei 1569,
Rangga Hadi lantas diwisuda menjadi adipati Lamongan pertama yang diberi gelar Tumenggung Surajaya. Rangga Hadi sendiri wafat tahun 1607.
Pusara Rangga Hadi berada di sebelah utara Musala Mbah Lamong yang berada di tengah permukiman penduduk. Terdapat jalan penghubung antara musala dengan makam Rangga Hadi yang berada di bangunan terkunci. Sementara itu di kompleks luarnya juga terdapat sejumlah makam tanpa tulisan di nisan.
Makam Mbah Lamong ini memang masuk dalam situs sejarah yang dirawat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Lamongan. Perawatan dilakukan secara berkala dari tahun ke tahun.
...⭐🌼⭐....
Komentar
Posting Komentar